Oleh: A. Zainal Mutaqin
SERING kita mendengar para Ustadz atau Da’i mengucapkan istilah muroqobatullah. Dilihat dari susunan katanya istilah ini sudah pasti berasal dari bahasa Arab. Yaitu gabungan dari dua buah kata muraqabah dan Allah.
Jika dilihat dari segi bahasa (etimologi) ‘muroqobah’ berasal dari kata ‘roqoba’ artinya mengawasi atau memantau. Jadi muroqobatullah memiliki arti pengawasan Allah –subhanahu wa ta’ala-.
Sedangkan dari segi istilah, menurut Rikza Maulana, Lc., M.Ag. muroqobatullah memiliki makna suatu keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa Allah –subhanahu wa ta’ala– senantiasa mengawasinya, melihatnya, mendengarnya, dan mengetahui segala apapun yang dilakukannya dalam setiap waktu, setiap saat, setiap nafas atau setiap kedipan mata sekalipun.
Al-Harits al-Muhasibi berkata, “Muroqobah adalah pengetahuan hati tentang kedekatan Rabb”.
Pengertian muroqobatullah juga berkaitan erat dengan hadits Jibril mengenai ihsan. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda, “Al-Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat–Nya, maka jika engkau tidak bisa melihat–Nya maka sesungguhnya Ia melihatmu.” (HR. Bukhari Muslim)
Lalu, apa ancaman Allah –subhanahu wa ta’ala– terhadap orang yang tidak memiliki sifat muroqobah dalam dirinya?
Dari Tsauban –radhiyallahu ‘anhu-, Rasululllah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda, “Sungguh aku mengetahui beberapa kaum dari ummatku yang datang pada hari Kiamat kelak dengan membawa kebaikan-kebaikan seperti gunung Tihamah yang putih, lalu Allah jadikan kebaikan-kebaikannya tersebut seperti debu yang berterbangan, mereka itu adalah saudara-saudaramu, dari jenis kulitmu, dan mereka menjadikan malamnya sebagaimana kalian menjadikannya, akan tetapi mereka kaum yang apabila dalam keadaan sepi mereka melanggar larangan-larangan Allah.” (HR. Ibnu Majah, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Satu hadits ini sudah cukup memberi penjelasan kepada kita betapa pentingnya sifat muroqobah. Tidak tanggung-tanggung ancamannya adalah neraka yang menyala-nyala. Sekalipun seseorang terlihat rajin ibadah, banyak shedekahnya, dan sangat peduli terhadap sesama. Namun karena ia suka melakukan hal-hal yang dilarang Allah –subhanahu wa ta’ala– dalam kesendirian maka Allah –subhanahu wa ta’ala– menganggap semua amal shaleh yang telah ia lakukan tujuannya adalah hanya ingin mendapat pujian dan pengakuan dari manusia (riya).
Mengapa bisa demikian? Jelas sekali karena jika memang orang tersebut benar-benar berbuat baik hanya ingin dilihat Allah –subhanahu wa ta’ala-, hanya mengharapkan ridho-Nya, hanya ingin dipuji-Nya maka selayaknya ketika ia dalam keadaan sunyi sepi dan sendiri pun tetap beramal shaleh, tetap menjaga diri dari hal-hal yang dilarang Allah –subhanahu wa ta’ala-. Sekalipun tidak ada manusia yang melihatnya.
Pertanyaannya, bagaiman agar kita memiliki sifat muroqobatullah? Yang harus dilakukan kali pertama adalah berdo’a agar ditanamkan sifat muroqobah. Kemudian sempurnakan ikhtiar dengan terus menyuburkan keimanan kepada Allah –subhanahu wa ta’ala– dengan menuntut ilmu agama dan perbanyak ibadah.
Tiada hari tanpa bertambahnya ilmu agama, semakin hari semakin mengenal siapa Allah –subhanahu wa ta’ala-. Semakin hari semakin memahami apa yang disukai-Nya dan apa yang dibenci-Nya.
Iman tidak menebal dengan sendirinya. Akan tetapi ia perlu dipupuk setiap saat dengan ketaatan. Semakin kita sungguh-sungguh mentaati perintah-Nya maka iman akan semakin tertanam dalam diri.
Jika kita semakin yakin dengan adanya Allah –subhanahu wa ta’ala– dan hari akhir maka sifat muroqobah akan semakin melekat. Kemanapun kita pergi, apapun yang kita lakukan dan dalam kondisi apapun maka kita akan merasa selalu diawasi Allah –subhanahu wa ta’ala-. Selalu ada yang mencatat semua amal yang dilakukan baik pada siang hari di tengah keramaian manusia ataupun di kegelapan malam yang tiada satupun manusia yang melihat.
Semoga Allah –subhanahu wa ta’ala– menerima semua amal ibadah kita dan mengampuni segala dosa yang pernah kita lakukan, aamiin. []
[…] Apa Itu Muroqobatullah? […]
SukaSuka